Jumat, 02 Desember 2016

Film Dokumenter Indonesia, 'Pungguk' yang Rindukan Bioskop

Jakarta, CNN Indonesia -- Berbeda dengan penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya, ScreenDocs tahun ini tidak akan berkeliling membawa film dokumenter lokal ke komunitas di daerah-daerah. ScreenDocs Expanded, demikian kegiatan yang diselenggarakan In-Docs tahun ini disebut, diadakan besar-besaran di Jakarta.

Disebut besar-besaran, karena secara jumlah film lebih banyak. Ada 30 film dokumenter baik dari Indonesia maupun asing—terutama Asia dan Eropa. Jangka waktu pemutarannya pun lebih panjang, empat hari. Lokasi pengadaannya lebih strategis, di beberapa pusat kebudayaan negara asing yang bekerja sama.

“Setelah diputar ini, ada beberapa film yang sutradara memberi hak putarnya, diperbolehkan diputar secara nonkomersial. Kami akan buka pendaftaran siapa komunitas yang mau, baru kami keliling,” ujar Amelia Hapsari, Direktur Program In-Docs yang bertanggung jawab menggelar ScreenDocs kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Kamis (1/12).

Namun tetap saja, film-film itu—sepopuler dan sejauh apa pun—tidak mendapat kesempatan diputar di layar lebar. Amelia menjelaskan, itu berkaitan erat dengan beban biaya. Bukan tidak mungkin pihaknya bekerja sama dengan bioskop untuk memutar film-film dokumenter itu. Namun, ada konsekuensi finansial dan perhitungan bisnis di dalamnya.

“Misalnya, mau diputar serentak di lima kota. Berapa bioskop? Kita harus buat format DCP. Itu butuh biaya. Ke-dua, untuk promosi. Memutar film tanpa promosi, tetap saja orang tidak akan datang,” ujar Amelia. Ke-tiga, ia menambahkan, tidak pernah ada janji dari bioskop berapa lama film itu bisa diputar.


“Itu kan sistemnya bagi hasil. Kalau film diputar satu minggu penuh tapi penontonnya sedikit, sama-sama rugi. Jadi filmnya cepat diturunkan,” ujarnya. Selain tidak mendapat penonton, semua uang yang sudah dihabiskan untuk membawa film itu ke bioskop pun melayang.

“Sehingga untuk film-film yang tidak terlalu mainstream, tidak punya dana promosi besar, memutarnya di bioskop bukanlah suatu opsi,” kata Amelia lagi, menegaskan.

Berbeda dengan di negara lain seperti Belanda, misalnya. John Appel, sutradara pemenang penghargaan di bidang film dokumenter asal Belanda yang menjadi bintang tamu ScreenDocs mengatakan, di Negeri Kincir Air itu film dokumenter masih mendapat tempat di bioskop. Pencarian dana pun tidak sesusah di Indonesia.

“Dapat dana bisa dari pemerintah, dari lembaga-lembaga nonprofit,” ujarnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com. Ia sendiri tidak terlalu pusing dengan masalah dana. Meski tidak ada yang menyokong, ia tetap jalan. Soal keuntungan bisa didapat belakangan, karena memang bukan itu yang menjadi fokusnya saat membuat film.

“Biasanya saya membuat proposal dulu, ditawarkan ke lembaga-lembaga, lalu bikin film.”

Industri film dokumenter di Indonesia belum ‘semapan’ itu. Mencari dukungan dana masih susah, demikian pula jalur distribusi. Karena itu, kebanyakan film dokumenter mencari investor asing. “Dan mereka memang mencari film-film dokumenter dari seluruh dunia,” Amelia menuturkan. Di Indonesia, kebanyakan investor masih berpikiran profit.

“Investor itu kan uang harus kembali. Ibaratnya dia taruh modal, kalau untung, dikembalikan ke dua plus bunganya. Ketika film dokumenter tidak bisa membuktikan, tidak punya hitung-hitungan, investor mana mau. Mereka takut uang tidak kembali,” imbuhnya.

Tapi Amelia menyadari, film dokumenter dari negara dunia ke-tiga seperti Indonesia, tidak bisa terus-terusan ‘meminta’ dana asing. “Semakin lama semakin berkurang. Semua tahu, sekarang sedang krisis. dana semakin menyusut. Tidak bisa terus-terusan ke sana,” katanya.

Karena itu ia mulai bekerja sama dengan lembaga Inggris GoodPitch untuk mengembangkan industri film dokumenter dalam negeri. Tujuannya, mencari sumber dana dan mitra strategis di Indonesia sendiri. Untuk itu, pertama mereka perlu membangkitkan minat penonton terlebih dahulu. Karena—kembali lagi—tak bisa memasukkan film ke bioskop, mereka membuat strategi dengan menggandeng komunitas-komunitas nonmainstream di Indonesia.

“Kita bangun lingkungannya dahulu,” kata Amelia menutup pembicaraan.

ScreenDocs Expanded diselenggarakan mulai 1 hingga 4 Desember di Jakarta. Lokasi pemutaran film terpusat di pusat kebudayaan Belanda dan Perancis.

Pemutaran pertama, Kamis malam, dilakukan di Erasmus Huis. Film dari Indonesia, tentang Dialita--kelompok paduan suara ibu-ibu yang punya latar belakang berkaitan dengan komunisme--berjudul Rising from Silence menjadi pembuka yang menyentuh. Tamu undangan yang sebagian dari negara asing itu jadi mengerti lebih dalam tentang Indonesia, peristiwa 1965, dan kebebasan berekspresi yang pernah terbungkam.

Usai film diputar, mereka langsung memberi standing ovation kepada kelompok Dialita yang juga mementaskan lagu-lagunya, yang sebagian dibuat di dalam penjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar