Jakarta - Pemerintah berencana merevisi UU Nomor 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu
yang dipertimbangkan adalah memberikan kewenangan lebih kepada aparat
keamanan untuk menangkap orang yang terindikasi kuat bakal melakukan
teror ke masyarakat.
Namun ada yang terlupakan oleh para penggagas revisi UU Terorisme tersebut. Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail mengatakan bahwa melawan terorisme tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan.
Pemerintah, kata Noor Huda, perlu menyusun dua kebijakan untuk melawan terorisme. Pertama adalah mendorong mantan terpidana teroris untuk kembali diterima ke masyarakat dan kedua, menggandeng masyarakat sipil untuk melakukan "counter narrative" terhadap penyebaran ide-ide kekerasan yang dikampanyekan oleh pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di dunia maya.
Menurut Noor Huda, mantan narapidana teroris selalu mengalami dilema ketika selesai menjalani masa hukuman. "Apakah mereka kembali ke jalur jihad atau kembali ke masyarakat dengan mengikuti hidup yang normal?, jika mereka hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sulit, kurang pendidikan dan tanpa dukungan kuat dari keluarga mereka untuk kembali ke masyarakat, kemungkinan besar mereka akan tergiur untuk kembali ke kelompok mereka," kata Noor Huda dalam artikelnya di Australia Plus ABC yang dikutip detikcom, Rabu (20/1/2016).
Pemerintah sudah berupaya melakukan pendekatan kepada para mantan napi teroris itu melalui program deradikalisasi. Sayang, program ini masih terbentur keterbatasan dana, infrastruktur dan sumber dara manusia. "Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengatur penempatan, pengawasan, pengembangan dan melakukan program rehabilitasi untuk para mantan teroris," kata Noor Huda.
Hal yang tak bisa dilupakan lagi adalah soal gencarnya pendukung ISIS melakukan propaganda dan kampanye melalui dunia maya, seperti Twitter, Facebook, YouTube atau blog. Sehingga, kata Noor Huda, pemerintah perlu membuat strategi dan upaya sistematis untuk membendung gerakan terorisme di dunia maya. Ini bisa dilakukan dengan menggandeng masyarakat yang aktif di dunia maya alias Netizen.
"Jika IS (Islamic State/ISIS) telah berhasil mengunakan jejaring sosial untuk menyebarkan pesan mereka di Facebook, Twitter dan YouTube, kitapun masyarakat madani juga perlu membuat kampanye serupa di media sosial untuk melawan gerakan mereka. Kita bisa 'belajar' bagaimana 'kreatifnya' kelompok ini menggunakan teknologi untuk menyebarkan ideologi mereka dengan melihat produksi video, membaca Twitter dan semua yang mereka posting di dunia maya," kata Noor Huda.
Namun ada yang terlupakan oleh para penggagas revisi UU Terorisme tersebut. Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail mengatakan bahwa melawan terorisme tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan.
Pemerintah, kata Noor Huda, perlu menyusun dua kebijakan untuk melawan terorisme. Pertama adalah mendorong mantan terpidana teroris untuk kembali diterima ke masyarakat dan kedua, menggandeng masyarakat sipil untuk melakukan "counter narrative" terhadap penyebaran ide-ide kekerasan yang dikampanyekan oleh pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di dunia maya.
Menurut Noor Huda, mantan narapidana teroris selalu mengalami dilema ketika selesai menjalani masa hukuman. "Apakah mereka kembali ke jalur jihad atau kembali ke masyarakat dengan mengikuti hidup yang normal?, jika mereka hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sulit, kurang pendidikan dan tanpa dukungan kuat dari keluarga mereka untuk kembali ke masyarakat, kemungkinan besar mereka akan tergiur untuk kembali ke kelompok mereka," kata Noor Huda dalam artikelnya di Australia Plus ABC yang dikutip detikcom, Rabu (20/1/2016).
Pemerintah sudah berupaya melakukan pendekatan kepada para mantan napi teroris itu melalui program deradikalisasi. Sayang, program ini masih terbentur keterbatasan dana, infrastruktur dan sumber dara manusia. "Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengatur penempatan, pengawasan, pengembangan dan melakukan program rehabilitasi untuk para mantan teroris," kata Noor Huda.
Hal yang tak bisa dilupakan lagi adalah soal gencarnya pendukung ISIS melakukan propaganda dan kampanye melalui dunia maya, seperti Twitter, Facebook, YouTube atau blog. Sehingga, kata Noor Huda, pemerintah perlu membuat strategi dan upaya sistematis untuk membendung gerakan terorisme di dunia maya. Ini bisa dilakukan dengan menggandeng masyarakat yang aktif di dunia maya alias Netizen.
"Jika IS (Islamic State/ISIS) telah berhasil mengunakan jejaring sosial untuk menyebarkan pesan mereka di Facebook, Twitter dan YouTube, kitapun masyarakat madani juga perlu membuat kampanye serupa di media sosial untuk melawan gerakan mereka. Kita bisa 'belajar' bagaimana 'kreatifnya' kelompok ini menggunakan teknologi untuk menyebarkan ideologi mereka dengan melihat produksi video, membaca Twitter dan semua yang mereka posting di dunia maya," kata Noor Huda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar