Jakarta -
Sejak krisis 2008, ekonomi global tidak tumbuh secepat yang diharapkan. Persoalannya bukan pada kebijakan suku bunga rendah seperti yang dilakukan negara-negara maju. Perlambatan ekonomi yang terjadi sekarang lebih disebabkan faktor alamiah dan diperkirakan terus melambat dalam beberapa tahun mendatang.
Chief Economist DBS Group Research, David Carbon berpandangan bahwa perlambatan ekonomi saat ini terjadi seiring perubahan demografi di negara-negara maju. Pertumbuhan populasi di sana melambat, terutama penduduk usia kerja dalam satu dekade terakhir. Situasi ini diperkirakan terus terjadi dalam 2 sampai 3 dekade mendatang.
Di Jepang misalnya, saat ini pertumbuhan penduduknya sudah negatif 0,2% per tahun dan angkatan kerjanya merosot hingga minus 1% per tahun. Demikian pula pertumbuhan angkatan kerja di Amerika Serikat (AS). Saat ini tingkat pertumbuhannya hanya 0,4% per tahun, padahal menjelang runtuhnya Lehman Brothers pada 2008 masih tumbuh 0,8% dan 1,2 % lima tahun sebelumnya.
Pertumbuhan penduduk yang lambat dan masyarakat yang semakin tua menyebabkan beban penduduk usia kerja meningkat. Ini menyebabkan rasio pendapatan yang dihasilkan untuk menopang penduduk tidak produktif semakin tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang dipakai untuk konsumsi serta mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus berkurang.
Apakah itu mengkhawatirkan? David Carbon menyarankan agar investor terbiasa dengan situasi ini. Perlambatan ekonomi tidak sepenuhnya "buruk". Ia mengutip Narayana Rao Kocherlakota, mantan Presiden Federal Reserve of Minneapolis, bahwa yang terpenting diperhatikan adalah seberapa besar perubahanouput per orang, bukan output secara agregat. "Artinya investor perlu melihat jenis PDB yang didorong dari pertumbuhan produktivitas," ujarnya dalam laporan berjudul "Global Growth: Redefining Strength."
Jika dilihat dari sisi ini, tingkat produktivitas negara-negara maju sama sekali tidak menunjukkan perlambatan. Memang kita tidak melihat adanya perubahan struktural sejak krisis 2008—bahkan sejak periode sebelumnya—terhadap pertumbuhan produktivitas.
Contohnya tingkat produktivitas di Jepang rata-rata sebesar 1,6% per tahun sejak 2011. Angka ini tidak jauh dari rata-rata 1,8% sejak 1980, bahkan lebih baik dari rata-rata sejak 1990 sebesar 1,2%. Hal yang sama juga terjadi di AS, Jerman, dan Perancis. Meski PDB-nya melambat, tapi output per orang tidak mengalami perubahan.
"Perlambatan ekonomi di negara-negara ini sepenuhnya disebabkan faktor demografi, yakni pertumbuhan angkatan kerja yang rendah. Bukan akibat pertumbuhan produktivitas yang melemah," kata Carbon.
Situasi ini berbeda dengan negara-negara berkembang, terutama di Asia yang dari sisi demografi diuntungkan dengan struktur penduduk usia muda. Menurut Carbon, persoalan negara-negara ini bukan faktor demografi, melainkan turunnya tingkat produktivitas. Produktivitas tidak hanya digerakkan oleh pembangunan infrastruktur, tapi juga kualitas sistem legal, manajemen, serta sumber daya manusia untuk menghasilkan teknologi terkini. "Ada tiga faktor kunci penggerak produktivitas, yakni pendidikan, pendidikan, dan pendidikan," ujarnya.
Namun, negara-negara berkembang tidak memulai pada titik yang sama dengan negara maju. Makanya, cara paling mudah bagi negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan adalah dengan mengimpornya dari negara maju atas teknologi yang diproduksi 10, 20, atau 30 tahun lalu. Produktivitas pun meningkat dan pendapatan per kapita naik.
Persoalannya, teknologi perlu diperbarui dan di sisi lain tingkat upah juga sudah tinggi. Ini membuat teknologi semakin mahal, sehingga produktivitas pun menurun. "Pertumbuhan produktivitas dan upah suatu negara akan semakin lambat seiring tingkat pendapatan, pendidikan, dan teknologi semakin mendekati negara-negara maju."
Perkembangan ini sama sekali bukan hal baru. Pernah terjadi di Jepang era 1950-an dan 1960-an. Ketika pendapatan dan kapasitas teknologinya meningkat, pertumbuhan produktivitasnya disalip Singapura dan Hong Kong. Dari sini lalu ke Korea dan Taiwan, lalu ke Malaysia, Thailand, Tiongkok dan seterusnya.
Memang tak ada yang menginginkan pertumbuhan PDB yang lambat. Tapi patut diingat ini disebabkan adanya kenaikan pendapatan penduduk. Tentunya ini merupakan tujuan pertumbuhan ekonomi, bukan pertumbuhan itu sendiri. Dalam situasi ini, sebagaimana terjadi di Asia, maka pertumbuhan ekonomi yang lambat merupakan sesuatu yang baik, tidak sama sekali buruk sebagaimana dikhawatirkan.
Chief Economist DBS Group Research, David Carbon berpandangan bahwa perlambatan ekonomi saat ini terjadi seiring perubahan demografi di negara-negara maju. Pertumbuhan populasi di sana melambat, terutama penduduk usia kerja dalam satu dekade terakhir. Situasi ini diperkirakan terus terjadi dalam 2 sampai 3 dekade mendatang.
Di Jepang misalnya, saat ini pertumbuhan penduduknya sudah negatif 0,2% per tahun dan angkatan kerjanya merosot hingga minus 1% per tahun. Demikian pula pertumbuhan angkatan kerja di Amerika Serikat (AS). Saat ini tingkat pertumbuhannya hanya 0,4% per tahun, padahal menjelang runtuhnya Lehman Brothers pada 2008 masih tumbuh 0,8% dan 1,2 % lima tahun sebelumnya.
Pertumbuhan penduduk yang lambat dan masyarakat yang semakin tua menyebabkan beban penduduk usia kerja meningkat. Ini menyebabkan rasio pendapatan yang dihasilkan untuk menopang penduduk tidak produktif semakin tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang dipakai untuk konsumsi serta mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus berkurang.
Apakah itu mengkhawatirkan? David Carbon menyarankan agar investor terbiasa dengan situasi ini. Perlambatan ekonomi tidak sepenuhnya "buruk". Ia mengutip Narayana Rao Kocherlakota, mantan Presiden Federal Reserve of Minneapolis, bahwa yang terpenting diperhatikan adalah seberapa besar perubahanouput per orang, bukan output secara agregat. "Artinya investor perlu melihat jenis PDB yang didorong dari pertumbuhan produktivitas," ujarnya dalam laporan berjudul "Global Growth: Redefining Strength."
Jika dilihat dari sisi ini, tingkat produktivitas negara-negara maju sama sekali tidak menunjukkan perlambatan. Memang kita tidak melihat adanya perubahan struktural sejak krisis 2008—bahkan sejak periode sebelumnya—terhadap pertumbuhan produktivitas.
Contohnya tingkat produktivitas di Jepang rata-rata sebesar 1,6% per tahun sejak 2011. Angka ini tidak jauh dari rata-rata 1,8% sejak 1980, bahkan lebih baik dari rata-rata sejak 1990 sebesar 1,2%. Hal yang sama juga terjadi di AS, Jerman, dan Perancis. Meski PDB-nya melambat, tapi output per orang tidak mengalami perubahan.
"Perlambatan ekonomi di negara-negara ini sepenuhnya disebabkan faktor demografi, yakni pertumbuhan angkatan kerja yang rendah. Bukan akibat pertumbuhan produktivitas yang melemah," kata Carbon.
Situasi ini berbeda dengan negara-negara berkembang, terutama di Asia yang dari sisi demografi diuntungkan dengan struktur penduduk usia muda. Menurut Carbon, persoalan negara-negara ini bukan faktor demografi, melainkan turunnya tingkat produktivitas. Produktivitas tidak hanya digerakkan oleh pembangunan infrastruktur, tapi juga kualitas sistem legal, manajemen, serta sumber daya manusia untuk menghasilkan teknologi terkini. "Ada tiga faktor kunci penggerak produktivitas, yakni pendidikan, pendidikan, dan pendidikan," ujarnya.
Namun, negara-negara berkembang tidak memulai pada titik yang sama dengan negara maju. Makanya, cara paling mudah bagi negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan adalah dengan mengimpornya dari negara maju atas teknologi yang diproduksi 10, 20, atau 30 tahun lalu. Produktivitas pun meningkat dan pendapatan per kapita naik.
Persoalannya, teknologi perlu diperbarui dan di sisi lain tingkat upah juga sudah tinggi. Ini membuat teknologi semakin mahal, sehingga produktivitas pun menurun. "Pertumbuhan produktivitas dan upah suatu negara akan semakin lambat seiring tingkat pendapatan, pendidikan, dan teknologi semakin mendekati negara-negara maju."
Perkembangan ini sama sekali bukan hal baru. Pernah terjadi di Jepang era 1950-an dan 1960-an. Ketika pendapatan dan kapasitas teknologinya meningkat, pertumbuhan produktivitasnya disalip Singapura dan Hong Kong. Dari sini lalu ke Korea dan Taiwan, lalu ke Malaysia, Thailand, Tiongkok dan seterusnya.
Memang tak ada yang menginginkan pertumbuhan PDB yang lambat. Tapi patut diingat ini disebabkan adanya kenaikan pendapatan penduduk. Tentunya ini merupakan tujuan pertumbuhan ekonomi, bukan pertumbuhan itu sendiri. Dalam situasi ini, sebagaimana terjadi di Asia, maka pertumbuhan ekonomi yang lambat merupakan sesuatu yang baik, tidak sama sekali buruk sebagaimana dikhawatirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar