Dalam buku API SEJARAH jilid 2 dituliskan
bahwa peristiwa proklamasi yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945 bertepatan pada hari Jum’at Legi tanggal 9 Ramadhan
1364 pukul 10.00 pagi. Ini berarti umat Islam bangsa Indonesia khususnya
dan Islam dunia umumnya sedang dalam melaksanakan Ibadah shaum.
Sedikit kronologis sebagai tambahan informasi
atas posting sebelumnya tentangKejadian
Disekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditulis oleh Prof.
Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum di web site setneg.go.id.
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00,
di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno,
berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan
Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah
Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang! malam
ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan
meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap
mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus
segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami
sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru mereka bersahutan. Wikana malah
berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak
mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat
terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok
hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu,
Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata:
” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah
leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta
kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang
harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di
negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk
memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan
kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan
hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak;
” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada
kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah
takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat
itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan
kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang
segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan
total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan
kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan
itu ?Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan
anak-anak ?Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan,
bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung
Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar
Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun,
tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda,
Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus
berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno
untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain,
Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro.
Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para
pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta
kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar
penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil
kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta
dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus
1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi
“penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan
Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan kecewa, terutama
karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat.
Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat
keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka
tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu
tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang
dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan
perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela Tanah
Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin
hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu,
Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede
Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap
gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari
arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di
Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera
melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang,
rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang
cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk
melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang
telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta
tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada
perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok
bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang
itu terjadi perdebatan panas; ”Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami
memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”.
” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan
kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak
atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung
Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting
di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di
Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk
dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa
tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya
seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan
pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan
tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka
17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan
suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling
suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat
legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17,
orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17
bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung
Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi
(1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad
Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan
kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana
Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di
rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu
juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput
tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan
jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17
Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan
kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno
dan Hatta kembali ke Jakarta
(Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi
Rombongan
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang
telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan
Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari
orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam
beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atasBukanfu di
Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus
membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya
dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor
penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada
Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak
sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang
masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin
resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan
asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin
terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu.
Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari
orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang
tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa
dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan
kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi
masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda,
Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala
pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya
mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena
Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku
ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah
status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara
Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan itu, Nishimura melarang
Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi
Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan
bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia
dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak
menghalang-ha langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat
Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali
ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan
teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke
kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu
berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan
B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan
teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari
golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan
rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks
Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan
konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo
menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi
merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu
Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran
Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan
dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut
pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan
kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah
rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di
ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka
menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu.
Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai
membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih
merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu:
“Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk
mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan
sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di
tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan
Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis
untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami
terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar
di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam
ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di
tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta
berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan
pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan
dini hari itu dengan beberapa patah kata.
“Keadaan yang mendesak telah memaksa
kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.
Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan
saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian
dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan
pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada mereka yang hadir, Soekarno
menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi
selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad
Hatta dengan mengambil contoh pada“Declaration of Independence
” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak
setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak
Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar
penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul
Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh
Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan
kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke
seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan?
Menurut Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa
rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong
ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan
Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran
Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan
di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di
depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus
memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah
lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu,
saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar
pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul
05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi
masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda
keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah
merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah
Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung
Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan
kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan
menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm
pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di
kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria
tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para
sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
“Pating greges“, keluh Bung Karno setelah
dibangunkan Dr. Soeharto, dokter kesayangannya.
Kemudian darahnya dialiri
chinineurethanintramusculair danmenenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur
lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan
menemui sahabatnya, Bung Hatta.
Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita
sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot
sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera
pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke
kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai. (ref)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar