Ketika
Jepang kalah melawan sekutu pada Perang Dunia II banyak tentaranya di
Indonesia bingung; kembali ke negerinya atau bertahan. Banyak di antara mereka
yang melakukan harakiri (bunuh diri demi kehormatan) dan ternyata
banyak juga yang masih bertahan.
Menurut data Yayasan Warga Persahabatan (YWP) di Jakarta, setelah Perang Dunia II usai, tercatat sebanyak 903 bekas tentara Jepang ikut perang kemerdekaan Indonesia. Data selanjutnya yang dirilis sekitar tahun 2000-an, sekitar 243 orang meninggal dalam perang, 288 hilang, dan 45 orang kembali ke Jepang. Sisanya, 324 memilih untuk tetap tinggal di Indonesia dan menjadi WNI.
Salah satunya yang memutuskan untuk tinggal dan berjuang bagi kemerdekaan Indonesia, menjadi WNI hingga akhir hayatnya adalah Shigeru Ono yang kemudian menambahkan nama depan menjadi Rahmat Shigeru Ono Dalam buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi, Rahmat Ono -- ia memanggil dirinya Papi -- berbagi kisah hidupnya yang luar biasa.
Ono lahir pada 26 September 1919 di Furano, Hokkaido. Ia dan beberapa tentara Jepang lainnya memutuskan untuk tinggal di Indonesia setelah Jepang takluk pada sekutu.
Menurut Ono dalam memoarnya, ada dua alasan mengapa tentara Jepang memilih untuk bertahan dan justru membantu kemerdekaan Indonesia.
"Kami yang memilih menetap di Indonesia ada banyak alasan, tapi menurut saya yang pertama adalah keinginan besar untuk membebaskan Asia dari bangsa-bangsa Barat," kata Ono.
"Indonesia sudah banyak membantu Jepang, sehingga Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi sebelum dapat mewujudkan janji itu Jepang kalah pada Sekutu, kami (tentara Jepang) sangat marah dengan itu, seharusnya kami tetap di Indonesia," lanjutnya.
Selain itu, Ono juga melihat gambaran perang yang mengerikan antara Sekutu dan Indonesia. "Setelah Indonesia jatuh ke tangan sekutu, saya melihat kota Bandung dibakar dan orang-orang dipukul dan dibunuh tanpa perasaan," tulis Ono dalam buku hariannya. Sebanyak 80 persen tentara Jepang yang tak kembali ke negaranya berada di Bandung Jawa Barat.
Di Bandung, tentara Jepang diperlakukan dengan baik. Pada awal 1946, mereka dipindahkan ke ibu kota pemerintahan, Yogyakarta. Di situlah Ono bertemu dengan Abdul Rahman Tatsuo Ichiki. Ia adalah pemuda Jepang yang jatuh cinta dengan Indonesia dan ingin membebaskan Nusantara dari penjajahan.
Ono dan temannya memperoleh buku strategi perang dalam bahasa Jepang yang kemudian meminta Ichiki menerjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Pada Septembber 1946, Ono dan Ichiki benar-benar menunjukkan kesetiaan kepada Indonesia, dengan meminta berjuang di garis depan. Mereka berangkat ke Linggarjati saat terjadi perundingan Indonesia-Belanda.
Bulan April 1947, Ono menjaadi staf pendidikan tentara di Magetan. Selain itu, bersama eks tentara Jepang lainnya dan pejuang Indonesia, Ono bergerilya. Salah satunya menyerang markas KNIL di Mojokerto.
Di bulan Oktober tahun yang sama Ono dipindahkan ke Malang. Ia ditugasi membuat peta wilayah dan pangkatnya yang semula sersan, naik jadi letnan.
Menurut data Yayasan Warga Persahabatan (YWP) di Jakarta, setelah Perang Dunia II usai, tercatat sebanyak 903 bekas tentara Jepang ikut perang kemerdekaan Indonesia. Data selanjutnya yang dirilis sekitar tahun 2000-an, sekitar 243 orang meninggal dalam perang, 288 hilang, dan 45 orang kembali ke Jepang. Sisanya, 324 memilih untuk tetap tinggal di Indonesia dan menjadi WNI.
Salah satunya yang memutuskan untuk tinggal dan berjuang bagi kemerdekaan Indonesia, menjadi WNI hingga akhir hayatnya adalah Shigeru Ono yang kemudian menambahkan nama depan menjadi Rahmat Shigeru Ono Dalam buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi, Rahmat Ono -- ia memanggil dirinya Papi -- berbagi kisah hidupnya yang luar biasa.
Ono lahir pada 26 September 1919 di Furano, Hokkaido. Ia dan beberapa tentara Jepang lainnya memutuskan untuk tinggal di Indonesia setelah Jepang takluk pada sekutu.
Menurut Ono dalam memoarnya, ada dua alasan mengapa tentara Jepang memilih untuk bertahan dan justru membantu kemerdekaan Indonesia.
"Kami yang memilih menetap di Indonesia ada banyak alasan, tapi menurut saya yang pertama adalah keinginan besar untuk membebaskan Asia dari bangsa-bangsa Barat," kata Ono.
"Indonesia sudah banyak membantu Jepang, sehingga Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi sebelum dapat mewujudkan janji itu Jepang kalah pada Sekutu, kami (tentara Jepang) sangat marah dengan itu, seharusnya kami tetap di Indonesia," lanjutnya.
Selain itu, Ono juga melihat gambaran perang yang mengerikan antara Sekutu dan Indonesia. "Setelah Indonesia jatuh ke tangan sekutu, saya melihat kota Bandung dibakar dan orang-orang dipukul dan dibunuh tanpa perasaan," tulis Ono dalam buku hariannya. Sebanyak 80 persen tentara Jepang yang tak kembali ke negaranya berada di Bandung Jawa Barat.
Di Bandung, tentara Jepang diperlakukan dengan baik. Pada awal 1946, mereka dipindahkan ke ibu kota pemerintahan, Yogyakarta. Di situlah Ono bertemu dengan Abdul Rahman Tatsuo Ichiki. Ia adalah pemuda Jepang yang jatuh cinta dengan Indonesia dan ingin membebaskan Nusantara dari penjajahan.
Ono dan temannya memperoleh buku strategi perang dalam bahasa Jepang yang kemudian meminta Ichiki menerjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Pada Septembber 1946, Ono dan Ichiki benar-benar menunjukkan kesetiaan kepada Indonesia, dengan meminta berjuang di garis depan. Mereka berangkat ke Linggarjati saat terjadi perundingan Indonesia-Belanda.
Bulan April 1947, Ono menjaadi staf pendidikan tentara di Magetan. Selain itu, bersama eks tentara Jepang lainnya dan pejuang Indonesia, Ono bergerilya. Salah satunya menyerang markas KNIL di Mojokerto.
Di bulan Oktober tahun yang sama Ono dipindahkan ke Malang. Ia ditugasi membuat peta wilayah dan pangkatnya yang semula sersan, naik jadi letnan.
Pasca
Perjanjian Renville, ada kesepakatan untuk menangkapi eks tentara Jepang.
Ichiki menemui Kolonel Sungkono dan meminta agar beberapa pasukan eks Jepang disatukan dalam unit tentara. Keinginannya terkabul, Juni 1948 dibentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang terdiri dari 28 mantan tentara Jepang.
Komandan PGI adalah Arif Tomegoro Yoshizumi. Pasukan ini dikenal Belanda karena berani. Wilayah operasi mereka di Dampit, Malang Selatan, dan Wlingi - Blitar. Ono bertugas di Dampit.
Saat sedang membuat senjata rakitan, granat di tangannya meledak. Hal itu terjadi satu hari setelah hari ulang tahunnya pada 27 September 1948. Tangan kirinya terpaksa diamputasi akibat kecelakaan itu.
Dalam pertempuran sengit Ichiki gugur di Wonokoyo, sementara Tomegoro meninggal karena sakit. Akhirnya, PGI bergabung dalam kesatuan militer formal dan mengubah namanya menjadi Pasukan Untung Suropati 18.
Ichiki menemui Kolonel Sungkono dan meminta agar beberapa pasukan eks Jepang disatukan dalam unit tentara. Keinginannya terkabul, Juni 1948 dibentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang terdiri dari 28 mantan tentara Jepang.
Komandan PGI adalah Arif Tomegoro Yoshizumi. Pasukan ini dikenal Belanda karena berani. Wilayah operasi mereka di Dampit, Malang Selatan, dan Wlingi - Blitar. Ono bertugas di Dampit.
Saat sedang membuat senjata rakitan, granat di tangannya meledak. Hal itu terjadi satu hari setelah hari ulang tahunnya pada 27 September 1948. Tangan kirinya terpaksa diamputasi akibat kecelakaan itu.
Dalam pertempuran sengit Ichiki gugur di Wonokoyo, sementara Tomegoro meninggal karena sakit. Akhirnya, PGI bergabung dalam kesatuan militer formal dan mengubah namanya menjadi Pasukan Untung Suropati 18.
Setelah
pengakuan kedaulatan, Juli 1950, Ono menikah dengan Darkasih. Anak pertama
mereka lahir pada 24 Juni 1951 dan diberi nama Tutik. Namun, saat 1952 ketika
Ono dipanggil Konjen Jepang di Surabaya, ia berhasil tersambung kembali dengan
ibunya.
Oleh
sang ibu, ia diminta mengganti nama anaknya menjadi Atsuko.
Di
tahun yang sama, Ono mendapatkan warga negara Indonesia. Sayangnya, sang istri
meninggal karena kanker pada 1982.
Pada
masa Orde Baru, Ono pernah bekerja di perusahaan Jepang. Di tahun 1970an,
pekerjaannya itu membawanya ke Negeri Matahari Terbit bertemu dengan
saudara-saudaranya, namun ia merasa asing di kampung halaman yang telah lama ia
tinggalkan.
Lagipula,
Anda hanya bisa bertanam setengah tahun di sana. Di Indonesia, kita bisa panen
sayuran tiap tahun," ujar Ono dalam sebuah wawancara dengan ChinaPost.
Jiwa
Jepang tidak luntur meski tinggal di tanah Jawa selama tujuh dasawarsa. Dia
bisa menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, tanpa salah. Ono juga
sering mengenakan chanchanko -- semacam kimono yang menyerupai jaket
-- saat menyambut tamu.
Ono
meninggal pada 25 Agustus 2014 karena sakit. Padahal, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat itu memintanya hadir di Istana Negara merayakan Kemerdekaan RI.
Namun, karena kondisi tubuhnya yang tak memungkinkan, Ono terpaksa tak bisa
hadir.
Di
rumah sakit, menjelang ajal menjemput, Ono berharap bangsa Indonesia akan
bersinar dan semakin jaya.
"Indonesia
itu maju...lebih kuat... secara internasional... itu harapan...," pesan
terakhir Ono kepada bangsa Indonesia.
Rahmat
Shigeru Ono, menutup mata di usia ke-95 tahun. Meninggalkan 4 anak, 10 cucu, 6
cicit. Ia dimakamkan dengan pangkat terakhir Mayor (purnawirawan) di Taman
Makam Pahlawan Batu.
Ono
merupakan tentara Jepang terakhir yang meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya. Sebelumnya, ketua Yayasan Warga Persahabatan, Umar Hartono
alias Eiji Miyahara meninggal pada 15 Oktober 2013.
Kini,
tak ada lagi tentara Jepang yang 'membelot' ke Indonesia demi membantu
kemerdekaan RI. Namun, jejak mereka masih ada -- selain nisan dan kubur
-- salah satunya adalah kebebasan yang dimiliki bangsa ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar