Dianggap sebagai ibukota fesyen paling penting, Paris juga menyediakan tantangan paling berat untuk ditaklukkan, khususnya dari segi estetika dan kreativitas, dengan adanya lembaga bernama Chambre Syndicale du Pret-a-Porter des Couturiers et des Createurs de Mode, yang menyeleksi para desainer yang ingin menjadi bagian di kalender resmi Paris Fashion Week.
Beberapa desainer muda terus gigih berupaya menembus Paris. Mereka adalah Toton Januar yang mengusung label TOTON, duo desainer Ari dan Sari Seputra dengan label Major Minor, Peggy Hartanto, Sean Loh dan Shiela Agatha lewat label Sean & Sheila, Tommy Ambiyo Tedji yang mengusung label BYO, serta Wilsen Willim.
Kepada CNNIndonesia.com mereka berkisah tentang sulitnya ‘mendobrak’ Paris dan bertahan di dalamnya.
Tex Saverio yang pernah mencicip panggung mode utama Paris mengungkapkan satu batu sandungan: akses material dalam negeri. Problem itu pun tak hanya dialami Tex, tapi juga desainer lainnya.
“Kebanyakan kain, payet, atau elemen lain yang mereka perlukan untuk membuat koleksi mereka memang beberapa tersedia di Indonesia, namun tidak semuanya bisa diakses karena lebih dipentingkan untuk keperluan ekspor,” sebut Toton.
Problem lainnya yang kerap mereka temui adalah soal pengurusan dokumen ekspor.
“Memang sekarang lebih mudah, tapi masih ada beberapa masalah efisiensi misalnya untuk pengurusan Surat Keterangan Asal (SKA, atau Certificate of Origin, COO), terlalu banyak langkah yang luar jaringan (offline), yang seharusnya bisa dibuat daring dan lebih mudah,” jelas Toton.
Padahal, di Paris sendiri, koleksi desainer Indonesia banyak menuai pujian, bahkan tak jarang yang menerima order besar.
Peggy Hartanto misalnya. Dia sempat bertemu dengan penduduk Paris yang tengah mengenakan baju rancangannya. Tidak hanya itu, koleksinya juga pernah dikenakan Gwen Stefani saat dia menjadi bintang tamu di acara talkshow bersama Ellen DeGeneres.
Pada waktu itu, Gwen memilih dress putih ketat bergaya tahun 50-an dengan detail lipatan di bagian dada dan berpanel oranye.
Itu menunjukkan bahwa rancangan desainer Indonesia bisa bersaing dengan desainer internasional lainnya. Bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti, label Indonesia bisa tampil di semua pekan mode internasional, termasuk Paris.
Koleksi Sean & Sheila, desainer Indonesia di Paris Fashion Week. (Dok. Vickar Adam
|
Soal kreativitas, Indonesia memang tidak kalah. Namun satu hal yang harus jeli dilihat desainer Indonesia di industri mode Paris adalah pasar.
Karena Paris merupakan pusat mode dunia, wajar jika buyer dan merchandiser dari seluruh penjuru datang ke ibukota Prancis itu. Disitulah showroom yang diikuti para desainer muda Indonesia ini berperan vital. Demi menggaet para buyer internasional yang akan memperluas pasar mereka.
Tex tidak lagi berfokus pada show di panggung utama Paris, kendati itu bisa menaikkan prestise labelnya. Fokusnya kini adalah mendapatkan pasar yang lebih luas. Oleh karena itu dia menempatkan koleksinya di sebuah atelier mewah di Hotel Westin, Paris-Vendome.
Dia memboyong dua labelnya, Tex Savrio dan TSVP (Tex Saverio Prive). Melihat showroom-nya, pangsa pasar Tex kali ini adalah Timur Tengah yang memang menyukai baju penuh detail, seperti milik Tex.
Sayangnya, diantara keriuhan payet dan kristal yang ditampilkan seluruh desainer di ruang showroom, koleksi Tex nyaris tak terlihat.
Kontras dengan Tex yang memilih menyasar pasar Timur Tengah, Wilsen Willim memilih untuk menyediakan palet kosong berupa pakaian-pakaian serba putih, dengan hiasan detail origami berbentuk baling-baling serta potongan-potongan nyaris menyerupai drape untuk koleksi adibusana.
“Warna serba putih ini dipilih agar para buyer memiliki kebebasan untuk memilih warna yang mereka inginkan,” kata Wilsen.
Kepada buyer, ia akan menunjukkan sebuah album sampel berisi lebih dari dua lusin contoh kain yang bisa dipakai untuk koleksinya. Sekilas, inovasi yang ditawarkan Wilsen tampak riskan karena para buyer biasanya menginginkan para desainer memiliki visi yang jelas, yakni dengan koleksi siap jual, untuk setiap koleksinya.
Namun keberaniannya patut diacungi jempol.
Toton mengusung tema Jakarta sebagai melting pot dalam pameran koleksinya di Paris, awal Oktober lalu. (Dok. Vickar Adam)
|
Tahun ini, Toton bercerita tentang Jakarta sebagai melting pot di Indonesia, dengan berbagai macam budaya yang menjadikannya menarik. Usahanya untuk mengubah paradigma dan menawarkan pilihan-pilihan pakaian kerja yang eklektik dengan warna-warna kalem seperti tanah liat, abu-abu batu, dan cokelat tua menjadi andalannya. Termasuk dengan menyematkan pesan-pesan filosofis, yang jadi ciri khas rancangan Toton.
"Indonesia memiliki banyak sisi dan terkombinasi di Jakarta. Banyak hal yang bersifat tradisi yang sudah berubah nilainya. Misalnya Ondel-ondel di Jakarta. Banyak yang tidak tahu bahwa Ondel-ondel itu dahulu dipakai untuk mengusir roh jahat. Kini, Ondel-ondel dipakai untuk hiburan atau bahkan bahan olok-olok,” terangnya sambil menunjukan katalog dengan berlatar cokelat tanah dengan dekorasi Ondel-ondel.
Toton yang merupakan pengagum Miuccia Prada dan Cristobal Balenciaga, berusaha konsisten mengolah kearifan lokal dan mengemasnya dalam konstruksi garmen yang kompleks.
Sementara Ari dan Sari Seputra membawa dua label, yakni Major Minor Signature, sebuah lini siap pakai premium, dan Major Minor Maha, lini dengan tingkat kualitas yang lebih tinggi dan proses pembuatan yang kompleks.
Dari segi tema, budaya China dan Indonesia menjadi poin awal mereka. Modernisasi batik Pekalongan, seperti motif parang dan kawung yang dikartunisasi dan diwarnai pop, bunga cempaka, serta Ginko, sebah lambang harapan dan kesehatan, diaplikasikan di embroideri berupa sulaman benang serta mutiara berkilauan maupun aksen tiga dimensi. Kualitas jahitan mendukung konsep tersebut.
Namun ada inovasi lain yang juga ditawarkan Major Minor pada pasar Paris, yakni konsepSee Now Buy Now (SNBN) atau Lihat dan Beli Sekarang, sebuah metode yang kini ramai diperbincangkan di seluruh industri fesyen, dimana para desainer menyediakan pakaian yang ditampilkan dan langsung tersedia di toko sehari setelah runway show.
Keseimbangan antara permintaan pasar (yang diakibatkan oleh cepatnya arus informasi melalui media sosial) dengan craftsmanship yang memakan waktu, tidak heran bila strategi SNBN ini menjadi kontroversi, terlebih lagi di Paris, dimana kualitas menjadi nomor satu. Karena alasan itulah Major Minor akan bereksperimen dengan strategi ini untuk label Signature mereka, dengan potongan yang lebih simpel dan detail yang tidak terlalu banyak.
"Ini adalah trial-and-error, dan kami masih akan mempertimbangkan banyak hal. Namun untuk memenuhi keinginan pasar, strategi ini akan kami coba aplikasikan,” terang Sari.
Sebuah strategi bisnis yang masih baru bahkan untuk label-label besar seperti Burberry dan Ralph Laurent, SNBN juga memiliki keuntungan bahwa konsumen tidak perlu menunggu berbulan-bulan hingga koleksi siap di toko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar